HUBUNGAN PIH DAN PHI

Hubungan antara PIH dan PHI ;
Pengantar Ilmu Hukum adalah dasar untuk mengetahui Tata Hukum di Indonesia (Pengantar Ilmu Hukum Indonesia) yang ada di Indonesia.

PERBEDAAN ANTARA PIH DAN PHI
Perbedaan antara PIH dan PHI dapat dilihat dari segi objyeknya yaitu PHI berobyek pada hukum yang sedang berlaku di masa sekarang, sedangkan obyek PIH aturan tentang hukum pada umumnya tidak terbatas pada aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.

PERSAMAAN ANTAR PIH DAN PHI
Baik PIH maupun PHI sama sama merupakan mata kuliah dasar keduanya merupakan mata kuliah yang mempelajari hukum.
PIH mendukung atau menunjang kepada setiap orang yang akn mempelajari hukum positif indonesia ( tata hukum indonesia ).
PIH menjadi dasar dari PHI yang berarti bahwa untuk mempelajari hukum positif indonesia atau tata hukum indonesia harus belajar PIH terlebih dahulu.

HAKIKAT DARIPADA PENGANTAR ILMU HUKUM
PIH merupakan suatu pelajaran yang menjadi pengantar dan penunjuk jalan bagi siapapun yang ingin mempelajari ilmu hukum, yang ternyata sangat luas ruang lingkupnya.Mereka tidak akan memahami dengan baik mengenai berbagai cabang ilmu tanpa menguasai mata pelajaran PIH terlebih dahulu.
Sebagai suatu mata pelajaran PIH memberikan dan menanamkan pengertian dasar mengenai arti, permasalahan dan persoalan persoalan di bidang hukum sehinggaia menjadi mata pelajaran utama yang harus di kuasai oleh mereka yang ingin mendalami ilmu hukum.
PIH memberikan gambaran gambaran dan dasar yang jelas`mengenai sendi sendi utama hukum itu sendiri. Berbeda dengan cabang cabang ilmu hukum lainya, maka PIH mempunyai cara pendekatan yang khusus ialah memberikan pandangan tentang hukum secara umum.

Karena PIH merupakan mata pelajaran dasar, maka bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu hukum harus menguasai mata pelajaran PIH terlebih dahulu. Tanpa penguasaan PIH mereka akan mendapatkan kesulitan atau kegagalan.
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN OLEH PIH
Dari judul pengantar ilmu hukum terlihat bahwa yang menjadi obyek PIH adalah ilmu hukum.

Materi yang di bahas oleh PIH dapat di bagi dalam:
A. HUKUM SEBAGAI OBYEK ILMU HUKUM
Sebagai obyek ilmu hukum memandang hukum dalam bentuk segala manifestasinya. Disini harus tertuang segala pertanyaan pertanyaan yang ber sangkut paut dengan hukum misalnya:
- Apakah hukum itu
- Apakah tujuan hukum itu
- Bagaimanakah hukum itu terbentuk
- Apakah sumber sumbernya
- Bagaimanakah sistem dan klasifikasinya
- Dan sebagainya

B. ILMU HUKUM SEBAGAI NORMA HUKUM
a. Hukum sebagai kaidah hukum
b. Kaidah hukum dan kaidah lainya
C. ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

a. Subyek hukum
b. Obyek hukum
c. Peristiwa hukum
d. Perbuatan hukum
e. Hubungan hukum
f. Masyarakat hukum

D. ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN
a. Antropologi hukum
b. Sosiologi hukum
c. Sejarah hukum
d. Psikologi hukum
e. Perbandingan hukum

PERAN DAN FUNGSI PIH
- Memberikan introduksi atau memperkenalkan segala masalah yang berhubungan dengan hukum.
- Berusaha untuk menjelaskan keadaan, inti, maksuud dan tujuan dari bagian bagian yang penting daripada hukum serta bertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum.
- Memperkenalkan ilmu hukum, yaitu pengetahuan yang mempelajari segala seluk beluk daripada hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya.
- Merupakan dasar dalam rangka studi hukum. Tanpa memahami pengantar ilmu hukum secara tuntas dan seksama tidak akan dapat di peroleh pengertian yang baik tentang berbagai cabang ilmu hukum. Dengan demikian sudah tepatlah apabila pengantar ilmu hukum juga bisa di namakan “ basis leervak “ atau mata kuliah dasar daripada pelajaran hukum.
- Mengkualifikasi mata pelajaran, pendahuluan, pembukaan ke arah ilmu pengetahuan hukum pada tingkat persiapan.

BUKTI BUKTI PENTINGNYA PERAN DAN FUNGSI PIH
Bukti bukti bahwa PIH mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu hukum, dapat dilihat dari berbagai segi:
•Dari segi sejarahnya PIH di ajarkan di perguruan tinggi di berbagai negara. Di jerman PIH di ajarkan sebagai “ einfuhrung in die rechswissenchaft “. Onderwijs wet ( undang undangperguruan tinggi ) di negara belandapada tahun 1920 memasukkan pengantar ilmu hukum di perguruan tinggi hukum dengan istilah “ inleiding tot der rechwetenschap “ sebagai pengganti dari “ Encyclopaedie der rechwetenschap “.
•Di indonesia inleiding tot de recwetwnscahp di jadikan kurikulum oleh recht hoge school ( sekolah tinggi hukum ) yang didirikan di batavia ( jakarta ) pada tahun 1942.
•Pada waktu universitas gajah mada berdiri pada tanggal 3 maret 1946 untuk pertama kalinya di pergunakan istilah pengantar ilmu hukum yang merupakan terjemahan dari inleiding tot de rechwetenschap dan sampai sekarang di jadikan mata kuliah dasar di semua perguruan tinggi di indonesia.
•Adanya surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan tanggal 30 desember 1973 No. 0198/U/1973 yang intinya menyebutkan bahwa di tingkat permulaan fakultas hukum negeri maupun swasta, mata kuliah pengantar ilmu hukum ini harus di cantumkan dalam kurikulumnya sebagai satu satunya mata kuliah yang langsung berhubungan dengan ilmu hukum.
•Menurut keputusan kopertis ( Koordinator perguruan tinggi swasta ), pengantar ilmu hukum merupakan mata kuliah ujian negara.
•Dalam rangka sistem kredit semester ( SKS ) mata kuliah ilmu hukum bobot SKSnya (4 SKS ) lebih besar dari cabang iilmu lainya.

KESIMPULAN:
-Hubungan antara PIH dan PHI ialah PIH adalah dasar atau asas untuk dapat memahami PHI
-PIH adalah sebagai pengantar untuk dimana memahami ilmu ilmu tentang hukum yang ada dalam PHI
-PHI adalah asas asas hukum indonesia
-PIH adalah asas asas hukum secara umum

HUKUM TATA NEGARA

A. Lingkup Hukum Tata Negara

Dalam kepustakaan Hukum Belanda, perkataan Staatsrecht (Hukum Tata Negara) mempunyai dua arti;
1) Staatsrechtswetenschap (Ilmu Hukum Tata Negara)
2) Positief staatsrecht (Hukum Tata Negara Positif)

Tata Negara Umum atau Pengantar Hukum Tata Negara membahas teori-teori ketatanegaraan secara umum sedangkan Hukum Tata Negara Positif hanya membahas konstitusi yang berlaku di Indonesia saja.
Hukum Tertulis yang merupakan Sumber dari Hukum Tata Negara Indonesia ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.

Prof. Mr. WG. Vegting dalam bukunya “het Algemeen Nederland Administratiefrecht I, 1954”, Staats-en administratiefrecht hebben een gemeenschappelijk gebeid van te bestuderen regelen, die achter bij de ene studie anders benaderd worden dan bij de andere”. (Hukum Tata Negara dan Hukum administrasi negara mempelajari suatu bidang peraturan yang sama, tetapi cara pendekatan yang digunakan berbeda antara bidang pelajaran yang satu dan pendekatan penggunaan pelajaran lainnya). Pendapat ini menggunakan perbedaan “perkataan” bahwa hukum tata negara bertujuan mengetahui tentang organisasi negara dan pengorganisasian alat-alat perlengkapan negara, sedangkan hukum administrasi negera bertujuan mengetahui tentang cara tingkah-laku negara dan alat-alat perlengkapan negara. Obyek hukum tata negara itu mengenai masalah fundamental organisasi negara, sedangkan hukum administrasi negara obyeknya mengenai pelaksanaan teknik dalam mengelola negara.

Dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia sebagai organisasi negara sejak 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam sejarahnya mengalami masa penggantian sebagai akibat dari rongrongan bekas penjajah Belanda yang ingin mencoba untuk menguasai kembali.

1. Sejarah singkat pembentukan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tanggal 29 April 1945 pemerintah jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) ang diketuai oleh Dr. Radjiman Widyadiningrat dengan tugas menentukan dasar-dasar filsafat dalam pembentukan pedoman bernegara.
Dalam sidang-sidangnya melaksanakan tugas itu menghasilkan:
1. Dasar falsafah Pancasila sebagai pedoman utama dalam bernegara (1 Juni 1945)
2. Pembentukan Undang-Undang Dasar (14 Juli 1945)
3. Rancangan Unsang-Undang Dasar.

Pada tanggal 9 Agustus 1945 Badan Penyelidik Usaha-usaha persiapan Kemerdekaan dibubarkan dan diganti, Dokuritsu Zyunbi linkai (panitia persiapan kemerdekaan Indonesia) terdiri dari 21 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Wakil ketua Drs. Moh. Hatta, sehari setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus panitia tersebut ditambah menjadi 27 orang menetapkan:
1.Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2.Undang-Undang Dasar 1945.

2. Masa Republik Indonesia Serikat 1950
Pada tanggal 1 Januari 1950 negara Republik Indonesia Serikat menyelenggarakan organisasi negaranya berdasarkan Undang-Undangnya yang lazim disebut Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( Konstitusi RIS). Secara sistematik Konstitusi itu terdiri dari:
1.Mukaddimah Isi pasal sebanyak 197 Lampiran. Alat-alat perlengkapan negara RIS yang berkedudukan di Jakarta sebagai Ibukota, terdiri dari: Presiden Sebagai kepala negara, Presiden dipilih oleh wakil-wakil pemegang kuasa dari pemerintah daerah-daerah bagian. Syarat-syarat untuk, menjadi Presiden, ialah: Telah berusia 30 tahun Dilarang bagi orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih atau orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.
Untuk pertama kali Presiden Republik Indonesia Serikat dilakukan di Yogyakarta pada tanggal 16 Desember 1949, yaitu Ir. Soekarno yang menagkat sumpahnya tanggal 17 Desember 1949.

2.Menteri-Menteri
Republik Indonesia menganut sistem kabinet yang bertanggung jawab (Government Cabinet), yaitu bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu. Tugasnya bersama-sama Presiden ,alaksanakan terselenggaranya pemerintah RIS. Dalam memperhatikan masalah untuk kepentingan umum sebagai kepentingan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh Sidang Dewan Menteri.
1.Senat
Senat adalah perwakilan daerah-daerah bagian. Perwakilan ini diberikan kepada setiap daerah bagian dari dua orang anggota dan bentuk suara satu. Syarat-syarat untuk menjadi anggota senat sama dengan syarat untuk menjadi Presiden. Senat bersama-sama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, berwenang:
1)Mengubah Konstitusi,
2)Menetapkan Undang-undang Federal baik untuk satu atau dua maupun semua daerah bagian,
3)Menetapkan Undang-Undang Federal tentang Anggaran Belanja Negara.
4)Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah perwakilan seluruh rakyat anggotanya terdiri dari 150 orang dengan pembagian 50 anggota dari negara bagian Republik Indonesia dan 100 anggota dari negara-negara bagian lainnya dengan tidak mengecualikan keanggotaan dari warga negara dolongan Cina, Eropa, dan Arab.
5)Mahkamah Agung
Kedudukannya sebagai lembaga yudikatif yang berdiri sendiri tanpa campur tangan alat-alat perlengkapan negara lainnya kecuali ditentukan dalam undang-undang, masa jabatan keanggotaannya terbatas (dapat pensiun), dapat diberhentikan oleh Presiden atas perintahnya sendiri.
6)Konstituante
Konstituante sebagai lembaga yang bertugas khusus membuat Undang-Undang Dasat saat itu sangat siperlukan, karena Undang-Undang Dasar sebagai pedoman negara republik Indonesia masih bersifat sementara dan perlu yang bersifat tetap.
Indonesia Sebagai Negara kesatuan yang berbentuk republik, Kepala negaranya adalah Presiden. Dan sebagai negara hukum, kedaulatannya adalah ditangan rakyat yang dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat.

2.Sumber Hukum Tata Negara
Sumber Hukum Tata Negara mencakup Hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal.
Sumber Hukum materiil tata negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara. Sumber hukum dalam arti meteril ini diantaranya:
1) Dasar dan pandangan hidup bernegara
2) Kekuatan0kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara.

Sumber Hukum dalam arti Formal:
1)Hukum perundang-undangan ketatanegaraan
2)Hukum Adat ketatanegaraan
3)Hukum kebiasaan ketatanegaraan, atau konvensi ketatanegaraan
4)Yurisprudensi ketatanegaraan
5)Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan
6)Doktrin ketatanegaraan

3.Asas-asas Hukum Tata Negara.

1)Asas Pancasila
Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumber hukum meteriil. Dalam penjelasan UUD 1945, dapat diketahui bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD negara Republik Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila.

2)Asas Negara Hukum

Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung “rechsstaat”.
Ciri-ciri dari rechtsstaat ialah:
1.Adanya Undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat
2.Adanya pembagian kekuasaan negara
3.Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

Ciri-ciri diatas menunjukan ide sentral dari rechtsstaat ialah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan.
Menurut A.V. Dicey mengetengahkan dalam tiga arti dari the rule of law sebagai berikut:
1)Supermasi Absolut atau predominasi dari regular Law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan menindak kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.
2)Persamaan dihadapan hukum atau pendudukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara.
3)Konstitusi adalah hasil dari ordinary law of the land, hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsikuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

3. Asas Keadulatan Rakyat dan Demokrasi.
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sisitem hukum continental yang disebut civil Law, sedangkan konsep rule of law pada system hukum yang disebut common law. Karakteristik common law adalah judicial. Sedangkan civil law adalah administratif.

Adapun ciri-ciri rechtstaat :
1.Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan-ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat
2.Adanya pembagian kekuasaan Negara
3.Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat

Ide sentral rechtstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan.

A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut :
a. supermasi absolute atau pedominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogative atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.

b. Persamaan dihadapan hukum atau penundukkan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bhwa tidak ada orang yang berada diatas hukum tidak ada peradilan administrasi Negara.

c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupak konsikuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dant ditegaskan oleh peradilan.
Dalam paham Negara hukum yang demikian, harusnya dibuat jaminan bahwa hukum tiu sendiri di bangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh sebab itu, prinsip Negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip demokrasi yang diatur dalam undang-undang dasar.

4. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (demokratische rechtsstaat). Kalangan berpandangan bahwa Undang-undang 1945 adalah cita kenegaraan kekeluargaan, oleh Soepomo disebut Integralistik. Sebagian yang lain juga berpendapat bahwa dalam UUD 1945 adalah Demokrasi karena adanya jaminan HAM didalam UUD 1945. Meskipun banyak yang mengusulkan agar permasalahan HAM dimuat dalam UUD, Soekarno dan Soepomo berkeras untuk konsisten dengan sistematika pemikiran integralistik yang menolak-nolak HAM. Perbedaan pandangan mengenai HAM tersebut, terutama seperti yang terlihat dalam perdebatan antara Hatta-Yamin di satu pihak dengan Soekarno-Soepomo di pihak yang lain, pada pokoknya mencerminkan perbedaan pemikiran mengenai konsep Negara kekeluargaan. Bab XA dengan judul Hak Asasi Manusia yang terdiri dari pasal 28A sampai dengan pasal 28J.
HAM yang termasuk dalam UUD 1945 dapat dibagi kedalam beberapa Aspek, yaiutu :
1. HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan
2. HAM berkaitan dengan keluarga
3. HAM berkaitan dengan pekerjaan
4. HAM berkaitan dengan kebebasan beragama dan menyakini kepercayaan
5. HAM berkaitan dengan kebebasan bersikap, berpendapat, dan kepercayaan
6. HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi
7. HAM eberkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat.
8. HAM berkaitan dengan kesejahteraan Sosial
9. HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan
10. HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.

Penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, pelaksanaan, dan pemajuannya ke UUD 1945 bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang dianggap semakin penting sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat Negara hukum.

5. Asas Negara Kesatuan.
Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametric dari Negara federal. Formulasi Negara kesatuan dedeklarasikan saat kemerdekaan oleh pendiri Negara dengan mengeklaim seluruh wilayahnya sebagai dari satu Negara.

6. Asas Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances

Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar :
Pertama, sejak jatuhnya Soeharto, kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin sentral dan menentukan. Kedua, munculnya kehidupan politik yang lebigh liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik rakyat semangat keterbukaan yang dibawanya telah memperlihatkan kepada public betapa tingginya tingkat distorsi dari proses penyelenggaraan Negara. Keempat, pada tataran lebih tinggi Negara kesadaran untuk memperkuat proses check and balances antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampaui konvensi yang selama ini dipegang-yakin “asas kekeluargaan didalam penyelenggaran Negara. Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagai elite berpengaruh dan public politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam konstirusi RI.

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

Pengertian Tata Hukum, yaitu menyusun dengan baik dan Tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi.

Sistem Hukum
Suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lain, tersusun dengan suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan.
Hukum Sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.

A. RUANG LINGKUP PHI (Tata Hukum Indonesia)
Tata Hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat Hukum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Lahirnya Tata Hukum di Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dibentuklah tata hukumnya itu dinyatakan dalam :
1.Proklamasi Kemerdekaan : “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”,
2.Pembukaan UUD-1945: “ Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Undang-undang dasar Negara Indonesia…”

Pernyataan itu mengandung arti :
1.Menjadikan Indonesia sauatu Negara yang merdeka dan berdaulat
2.Pada saat itu menetapkan tata hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian tertulis. D

Didalam Undang-undang dasar Negara itulah tertulis tata hukum Indonesia (yang tertulis). Undang-undang hanyalah memuat ketentuan-ketentuan dasar merupakan rangka dari tata hukum Indonesia

Tata Hukum di Indonesia meliputi :

1. Sistem Hukum
Macam-macam Sistem Hukum
a. Sistem Hukum Eropa Kontinental.
b. Sistem Hukum Anglo Saxon
c. Sistem Hukum Adat

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum Tata Negara di Indonesia :
1.Hukum perdata Indonesia
2.Hukum Pidana Indonesia
3.Hukum Tata Negara Indonesia
4.Hukum Dagang
5.Hukum Agraria
6.Hukum Pajak
7.Hukum Acara Pengadilan
8.Hukum Administrasi Negara
9.Hukum Adat
10.Hukum Islam.

Klasifikasi hukum
1.Berdasarkan sifatnya
Drs E. Utrecht, SH. Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Indonesia” (1953) telah membuat suatu batasan, Utrecht memberikan batasan Hukum sebagai Berikut: “Hukum itu adalah himpunan peratura-peraturan (perintah-Perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena harus ditaati oleh masyarakat. Itu. Akan tetapi tidaklah semua orang mau mentaati kaedah-kaedah hukum itu, maka peraturan kemasyarakatan itu harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian Hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberi sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.

2.Berdasarkan fungsinya.
Fungsi Hukum ialah untuk mengatur, sebagai petugas, serta sebagai sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban. Yang akan diatur oleh Hukum ialah peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, adanya sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas, bersifat memaksa, dan peraturan hukum diadakan oleh badan-badan resmi. Hukum yang diciptakan penguasa memiliki tiga tujuan yang hendak dicapai. Untuk menjelaskan tujuan ini ada 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang tujuan hukum, Teori Etis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, Teori Utilitas tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan manusia Teori campuran, tujuan hukum untuk mencapai ketertiban (yang utama) dan keadilan yang berbeda-beda isinya dan ukurannya menurut masyarakat dan zaman. Sedangkan tujuan Hukum Negara Republik Indonesia Menurut Hukum Positif tertuang dalam alinea keempat UUD Negara RI 1945 “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” tujuan Hukum sebagaimana disebutkan diatas intinya adalah menghendaki adanya keseimbangan, kepentingan, keadilan,ketertiban,ketentraman dan kebahagiaan setiap insan manusia, maka dari situ dapat diketahui apa sebenarnya fungsi dari hukum itu sendiri.
Secara umum fungsi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yaitu :
1.Alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.
2.Sarana mewujudkan keadilan sosial.
3.Alat penggerak pembangunan nasional.
4.Alat kritik.
5.Sarana penyelesaian sengketa atau perselisihan.

3.Berdasarkan isinya.
Hukum berdasarkan isinya adanya hukum Privat dan hukum publik. Pengertian dari masing-masing tersebut ialah, Hukum Privat, ialah Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Hukum privat ialah termasuk Hukum Pribadi, Hukum Keluarga, Hukum Kekayaan dan Hukum Waris, Contohnya seperti seseorng melakukan Perjanjian jual beli. Sedangkan Hukum Publik ialah bidang hukum dimana subyek hukum bersangkutan dengan subyek hukum lainnya, yang dimaksud ialah jika seseorang melanggar atau melakukan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam denga hukuman. Hukum publik ialah termasuk Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana.

4.Berdasarkan Waktu Berlakunya.
Hukum berdasarkan Waktu Berlakunya berdasarkan Hukum Positif atau Tata-Hukum dengan nama asing disebut ius constitutum sebagai lawan kata dari pada ius constituendu. Yakni perbuatan hukum yang berdampak positif bagi masyarakat, seperti seseorang memliki keinginan untuk mencuri atau merampok, tetapi seseorang tersebut tidak jadi mencuri atau merampok karena mengetahui adanya hukuman atau sanksi bagi yang melakukan perbuatan tersebut. Berikut sebaliknya ius constituendum yakni Hukum Negatif ialah seseorang tersebut telah mengerti adanya hukuman atau sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan tersebut tetapi seseorang tersebut seakan tak mempedulikan hal tersebut, seperti Korupsi. Serta Hukum Antar Waktu yakni Hukum Yang mengatur suatu peristiwa yang menyangkut hkm yang berlaku pada masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang.

5.Berdasarkan Wujudnya/Bentuknya.
Menurut bentuknya, Hukum itu dapat dibedakan antara:
1.Hukum Tertulis (Statute Law = Written Law), Yakni Hukum yang dicantumkan dalam
berbagai peraturan-perundangan satu negara, Contohnya:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Peraturan Pemerintah.
3. Peraturan Presiden.
4. Peraturan Daerah.

Mengenai Hukum tertulis, ada yang telah dikondifikasikan, dan yang belum
dikondifilasikan . KONDIFIKASI ialah pembukaan jenis-jenis hukum tertentu dalam
kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Unsur Kondifikasi ialah, Jenis Hukum tertentu (misalnya hukum perdata), sistematis, lengkap. Tujuan Kondifikasi dari hukum tertulis ialah untuk memperoleh Kepastian hukum, penyederhanaan hukum, kesatuan hukum. Berikut ialah contoh hukum yang sudah dikondifikasikan:
1)Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848).
2)Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848).
3)Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).

1.Hukum Tak Tertulis (unstatutery Law = unwritten Law), Yakni Hukum yang
masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya
ditaati seperti suatu peraturan perundangan (disebut juga hukum kebiasaan),
disebut Hukum Adat (Adat Law).

Perhatian dari luar terhadap hukum adat, Bangsa indonesia tidak lepas dari kontak dengan bengsa-bangsa lain. Istilah “Hukum Adat” adalah terjemahan dari perkataan Belanda “adatrecht”, istilah “adatrecht” ini ialah untuk pertama kali dipakai jadi merupakaniptaan, Snouck Hurgronje. Kemudian dipakai oleh pengarang-pengarang lain-lain. Tetapi kesemuanya ini memakainya masih secara sambil lalu dan hanya untuk hukum Indonesia asli, terlepas dan akibat pengaruh-pengaruh dari luar, seperti pengaruh agama.

6.Berdasarkan waktu berlakunya.
1)Hukum Nasional, Yaitu Hukum yang berlaku dinegara yang bersangkutan, misalnya Hukum Nasional Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menempatkan UUD 1945 sebagai hukum positif tertinggi.
2)Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum
yang terjadi dalam, pergaulan internasional.
3)Hukum Asing, yaitu hukum yang berlaku dinegara lain, misalnya bagi bangsa Indonesia adalah hukum yang berlaku di Malaysia, Amerika Serikat, Australia, dsb.
4)Hukum Gereja, adalah hukum yang ditetapkan oleh gereja dan diperlakukan terhadap para jamaahnya.

7.Berdasarkan Daya Kerjanya.
- Hukum yang bersifat mengatur atau fakultatif atau subsidiair atau perlengkapan dispositif, yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak.
- Hukum yang bersifat memaksa atau imperatif (dwingendrecht),yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak, yang berarti kaedah hukumnya bersifat mengikat dan memaksa, tidak memberi wewenang lain, selain apa yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Biasanya hukum yang mengatur kepentingan umum bersifat memaksa, sedangkan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan atau epentingan khusus bersifat mengatur. Persoalanya bagaimana caranya untuk mengetahui, apakah suatu peraturan hukum itu bersifat memaksa atau bersifat mengatur?
Dalam hal ini ada 3 (tiga) pedoman, yaitu:
-Berdasarkan Pasal 23 AB, yang menentukan bahwa suatu perbuatan atau perjanjian tidak dapat meniadakan kekuatan undang-undang yang berhubungan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan ketertiban umum kesusilaan itu bersifat memaksa.
-Dengan membaca darri bunyi peraturan hukum yang bersangkutan, dapat diketahui bahwa suatu peraturan hukum bersifat memaksa atau tidak. Contoh: Pasal 1447 KUH Perdata yang menentukan bahwa penyerahan harus dilakukan ditempat dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah diadakan persetujuan lai.
-Dengan jalan interprestasi dapat diketahui bahwa peraturan hukum tersebut bersifat memaksa atau tidak. Contoh: pasal 1368 KUH Perdata yang menentukan bahwa pemilik seekor binatang, atau siapa yang memakainya, adalah selama binatang itu dipakainya bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada dibawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.

2.Sejarah Hukum Indonesia.
Ada beberapa periode sejarahberkembangnya Hukum diindonesia, Yakni:
1.Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal

Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
1.Periode VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda, Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

2.Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

3.Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; Unifikasi kejaksaan; Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; Pembentukan lembaga pendidikan hukum; Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

3.TERBENTUKNYA HUKUM

A) pandangan legisme ( akhir abad 19) :
- hukum terbentuk oleh perundang-undangan
- hakim secara mekanis merupakan terompet undang-undang
- kebiasaan berlaku bila ada pengaruh
- meinitik beratkan pada kepastian hukum

B) pandangan freirechtlehre ( -20) :
- hukum terbentuk oleh peradilan
- undang-undang dan kebiasaan hanya sarana pembantu hakim menemukan hukum pada kasus konkrit
- titik beratnya : social doelmatighe

Pandangan modern terbentuknya hukum :
1. hukum terbentuk dengan berbagai macam cara
2. hukum oleh pembentuk UU dan hakim menerapkan UU
3. penerapan UU tidak dapat mekanis tapi perlu penafsiran
4. UU tidak sempurna sehingga penafsiran dan kekosongan hukum adalah tugas hakim melalui peradilan
5. hukum terbentuk tidak hanya karena pembentukan UU dan peradilan tetapi pergaulan social juga dapat membentuk hokum
6. peradilan kasasi berfungsi untuk memelihara kesatuan hukum dan pembentukannya

7. Sumber Hukum dan Tertib Hukum.
1.Adapun yang dimaksud dengan Sumber Hukum ialah: Segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
2.Sumber Hukum itu dapat ditiinjau dari segi Material dan segi Formal:
3.Sumber-sumber Hukum dari segi material, dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya.
Contohnya:
1.Seorang ahli ekonomi akan mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2.Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

2.Sumber-Sumber Hukum Formalantara lain:
1.Undang-undang (statute).
2.Kebiasaan (costum).
3.Keputusan-keputusan Hakim (jurisprudensi).
4.Traktat (treaty).
5.Pendapat Sarjana Hukum (doktrin).

a.Undang-Undang.
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dipelihara oleh penguasa negara, undang-undang juga peraturan Hukum tertinggi dinegara.
Menurut Buys, undang-undang memiliki dua arti, yakni:
1. Undang-undang dalam arti formal: setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang kerena cara pembuatanya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan Parlemen).
2. Undang-undang dalam arti material: setiap keputusan Pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
1) Syarat-syarat berlakunya suatu undang-undang:
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris Negara (dahulu: Menteri Kehakiman). Tanggal berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itunmulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam L.N untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah lain-lainnya beru berlaku 100 hari setelah perundangan dalam L.N. setelah syarat tersebut dipenuhi, maka “SETIAP ORANG DIANGGAP TELAH MENGETAHUI ADANYA SESUATU UNDANG-UNGANG”. Hal ini berarti jika ada seseorang yang melanggar Undang-undang tersebut, ia tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan apapun.
2)Berakhirnya Kekuatan berlaku undang-undang
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika:
a)Jangka waktu berlaku yang telah ditentukan oleh undang-undang itu sudah lampau.
b)Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak lagi ada.
c)Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.
d)Telah diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yand dulu berlaku.

Yang dimaksud dengan Lembaran Negara itu ialah suatu lembaran (sertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku. Misalnya:
1)L.N. tahun 1962 No. 1 (L.N. 1962/1).
2)L.N. tahun 1962 No. 2 (L.N. No. 2 tahun 1962).

Contoh:
1)L.N. 1950 No. 56 isinya: undang-undang dasar sementara (1950).
2)L.N. No. 37 isinya: Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1959 tentang peraturan ujian Universitas bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta.
3)L.N. 1961 No. 302 isinya: undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Peguruan Tinggi.
Sedangkan yang dimaksud dengan Berita Negara ialah suatu penerbitan resmi Departemen Kehakiman (Sekertaris Negara) yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan negara dan pemerintah da memuat surat-surat yang dianggap perlu seperti: akta pendirian PT, Firma, Koperasi, dan lain-lain.

b.Kebiasaan (costum).
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran Hukum, maka demikian timbulah kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. Contohnya: apabila seorang Komisioner sekali menerima 10% dari hasil atau pembelian sebagai upah dan hal ini terjadi berulang-ulang dan komisioner yang lainpun juga menerima upah yang sama yaitu 10% maka dari itu lambat laun kebiasaan (usance) berkembang menjadi Hukum Kebiasaan.

c.Pendapat Sarjana Hukum (doktrin).
Pendapat para Sarjana Hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh Hakim. Dalam Jurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa Sarjana Hukum yang terkenal dalam Ilmu Pengetahuan Hukum. Hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikan. Terutama dalam hubungan internasional pendapat-pendapat para Sarjana Hukum berpengaruh yang besar. Bagi Hukum Internasional pendapat para Sarjana Hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.Mahkamah Internasional dalamPiagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutuskan suatu perselisihan dapat dipergunakan beberapa pedoman yang antara lain:
a)Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions).
b)Kebiasaan-kebiasaan Internasional (International Costums).
c)Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recorgnised by civilised nations).
d)Keputusan hakim, (Judical decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum.

C. Struktur peraturan perundangan.
Sebelum membahas tentang struktur peraturan perundangan, istilah peraturan Peundang-undangan (wettelijke regeling), dalam khazanah keperpustakaan hukum, khususnya Eropa Kontinental, peraturan perundang-undangan (wet in meteriele zin, gesetz in materiellen sinne), dijabarkan lagi kedalam tiga unsur utama, yakni meliputi:
(a)Norma Hukum (rechtsnormen).
(b)Berlaku ke luar (naar buitenwerken).
(c)Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin).

Dengan unsur demikian, maka pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum dalam arti luas.
Dijelaskan oleh Bagir Manan, bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundag-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh leembaga pejabat negara yang mempunyai fungsi Legeslatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Unsur-unsur yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan adalah:
1.Peraturan Perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis (geschreven, written law).
2.Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan Organ), yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku umum atau mengikat umum (algemeen).
3.Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan mengikat oleh semua orang,mengikat umum hanya menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku pada peristiwa konkret atau individu tertentu. Lebih tepatnya disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat umum.

1)Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Berdasarkan atau sumber pada undang-undang dasar sementara 1950 dan konstitusi RIS-1949. Peraturan-peraturan di Indonesia terdiri dari:
1.Undang-undang Dasar (UUD).
2.Undang-undang (biasa) dan Undang-undang Darurat.
3.Peraturan Pemerintah tingkat Pusat.
4.Peraturan Pemerintah tingkat Daerah.

1)UUD ialah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan memuat garis-garis besar dan tujuan negara.
Suatu Uud mempunyai rangka seperti berikut:
1.Mukadimah atau Pembukaan atau Preamblue.
2.Bab-bab yang terbagi atas bagian-bagian.
3.Bagian terdiri atas pasa-pasal.
4.Pasal terdiri dari ayat-ayat.

Rangka Undang-Undang Dasar 1945:
(1) Pembukaan: 4 alinea.
(2) Isi UUD-1945:
a)16 Bab.
b)37 pasal.
c)4 pasal Aturan Peralihan.
d)2 ayat Aturan Tambahan.
(3) Penjelasan UUD-1945.
UUD biasanya juga disebut Konstitusi, akan tetapi sebenarnya Konstitusi tak sama dengan UUD. UUD itu merupakan Hukum Negara yang tertulis sedangkan Konstitusi tidak saja meliputi peraturan tertulis, tetapi juga mencakup peraturan hukum yang tidak tertulis (Conventions). Jadi makna Konstitusi lebih luas dari pada UUD.

2)Undang-Undang (biasa) ialah peraturan negara yang diadakan untuk menyelenggarakan pemerintahan pada umumnya yang dibentuk berdasarkan dan untuk melaksanakan UUD. Menurut UUD pasal 89 UU dibentuk oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Suatu undang-undang terdiri atas:
a.Konsiderans : yakni alasan-alasam yang menyebabkan dibentuknya suatu undang-undang. Dinyatakan dengan kata-kata Menimbang; mengingat;
b.Diktum : keputusan yang diambil oleh pembuat UU, setelah disebutkan alasan pembentukannya. Diiktum dinyatakan dengan kata-kata: Memutuskan: Menetaplan
c.Isi : isi UU itu terdiri dari: Bab-bab, Bagian, Pasal, Ayat-ayat.
Undang-undang Darurat ialah UU yang dibuat oleh Pemerintah sendiri atas kekuasaan dan tanggungjawab Pemerintah yang karena KEADAAN YANG MENDESAK perlu diatur dengan segera.

UUD Darurat dikeluarkan dengan bentuk dan keterangan-keterangan seperti UU biasa dengan perbedaan:
(1) Dalam menimbang harus diterangkan bahwa karena keadaan yang mendesak peraturan ini perlu segera diadakan.
(2) Kalimat “dengan persetujuan DPR” dihilangkan. UUD Darurat dapat kemudian disahkan oleh presiden dengan persetujuan DPR menjadi UUD biasa. UUD Darurat juga memiliki derajat yang sama denga undang-undang biasa.
(3) Peraturan Pemerintah (pusat) adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk melaksanakan suatu UU. Peraturan Pemerintah dibuat semata-mata oleh Pemerintah tanpa kerja sama dengan DPR. Peraturan Pemerintah dikeluarkan yang seperti UU Darurat dengan perbedaan menghilangkan kalimat “bahwa keadaan mendesak....” dihilangkan.
(4) Peraturan daerah ialah semua peraturan yang dibuat oleh Pemerintah setempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi derajatnya. Berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1948 dikenal.
(a) Peraturan Propinsi.
(b) Peraturan Kotapraja.
(c) Peraturan Kabupaten.
(d) Peraturan Desa.

Sekarang ini berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1974 dikenal:
(1) Peraturan Daerah Tingkat I.
(2) Peraturan Daerah Tingkat II.

Masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (sekarang).
1) Bentuk dan Tata urutan peraturan perundangan
Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan, Pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan yang disebut peraturan perundangan. Dengan demikian peraturan perundangan Republik Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Bentuk-bentuk dan Tata urutan peraturan perundangan menurut ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (kemudian dikuatkan oleh ketetapan MPR No. V/MPR/1973) ialah berikut:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-1945).
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ketetapan MPR).
c) Undang-Undang (UU) dan peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (PERPU).
d) Peraturan Pemerintah (PP).
e) Keputusan Presiden (KEPPRES).
f) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.

Tata urutan yang hierarki diatas tidak dapat diubah dan dipertukarkan tingkat kedudukannya, dari peraturan yang tertinggi dan rendahnya. Karena dalam penyusunan tersebut menunjukan tinggi rendahnya tingkat kedudukan peraturan negara tersebut.peraturan yang lebih rendah tingkat kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, misalkan: Undan-Undang tidak boleh bertentangan isinya dengan ketetapan MPR, peraturan Pemerintah dengan UU, dan sebagainya.

a) Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada peraturan perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar tertulis, sedangkan disamping UUD ini berlaku juga hukum dasar yag tidak tertulis, yang merupakan sumber hukum lain, misalnya kebiasaan-kebiasaan, traktat-traktat (perjanjian-perjanjian), dan sebagainya.

b) Ketetapan MPR.
Mengenai ketetapan MPR ada dua macam:

a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatip dilaksanakan dengan Undang-Undang.

b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

c) Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (PERPU)
PERPU diatur dalam UUD-1945 pasal 22 sebagai berikut:
(a) Dalam hak-ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(b)Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan.
(c) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR; oleh karena itulah PERPU dalam pasal 22 UUD 1945 yang sama kekuatannya dengan Undang-Undang harus disahkan pula oleh DPR. Ketentuan UUD 1945 tersebut sebenarnya memberikan suatu kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, oleh karena itu PERPU yang ditetapkan sendiri oleh Presiden mempunyai derajat/kekuatan berlaku yang sama dengan suatu Undang-Undang.
Presiden dengan menjalankan mengeluarkan PERPU yang dibuat sendiri dapat merubah atau menarik kembali suatu Undang-Undang biasa yang ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR.
Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.
Pasal 5 ayat 2 UUD 1945, di samping kekuasaan membentuk PERPU, UUD 1945 memberikan lagi kekuasaan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Selain peraturan Pemerintah (pusat), dikenal pula Peraturan Pemerintah Daerah Seperti misalnya Peraturan-Peraturan Daerah Tingkat I, dan Daerah Tinggak II. Peraturan Pemerintah (pusat) memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-Undang, sedangkan Peraturan Pemerintah daerah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah isinya tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat, dan jika bertentangan maka peraturan Pemerintah yang bersangkutan dengan sendirinya Batal (tidak berlaku).

4. Asas-asas dalam peraturan perundangan.
Menurut Van der Vilies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (algemeen beginselen van behoorlijke regelgeving), dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni asas formal (formele beginselen) dan asas materiil (materiele beginselen).
Asas formal meliputi,
1) Asas tujuan yang jelas.
2) Asas organ /lembaga yang tepat.
3) Asas perlunya pengaturan.
4) Asas dapat dilaksanakan.
5) Asas Konsensus.
Asas Materil meliputi,
1) Asas Terminologi dan sistematika yang jelas.
2) Asas dapat dikenali.
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum.
4) Asas kepastian hukum.
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, mencoba memperkenalkan beberapa asas-asas dalam perundang-undangan, yakni:
1) Undang-undang tidak boleh berlaku surut.
2) Undang-Undang yang dimuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum ( lex spesialis derogat lex generali).
4) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori).
5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
6) Undang-undang sebagai sarana unuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).

Untuk pemahaman yang lebih baik, harus diperhatikan, bahwa dalam asas ini sebagaian besar diarahkan pada kecenderungan masyarakatnya, situasi politik, dan pemerintahan yang ada.
Asas-asas tujuan yang jelas darus memuat tujuan umum daran kerangka aturan yang terlihat jelas. Disamping itu juga harus ada yang bersifat khusus. Hal itu berkaitan dengan bantuan khusus dari peraturan untuk mencapai tujuan umum.
Montesquie dalam bukunya L’ Esprit des lois menjelaskan bahwa, dalam pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas, antara lain:
1) Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple) kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorika hanya tambahan yang membingungkan.
2) Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan relatif, dengan maksud meminimalisasi kesepakatan untuk perbedaan pendapat dari individu.
3) Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang rill dan aktual, menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik.
4) Hukum hendaknya, tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang, bahkan hukum bukan latihan logoka, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata.
5) Hukum hendaknya, tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan, atau pengubahan, kecuali hanya apabila benar-benar diperlukan.
6) Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/dapat diperdebatkan; adalah bahaya merinci alasan-alasan hukum karena hal itu akan lebih menumbuhkan pertentangan-pertentangan.
7) Lebih daripada semua tiu, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan hendaknya tidak mengoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan,dan hakekat permasalahan; sebab hukum yang lemah, tidak perlu, dan tidak adil hanya akan membawa seluruh sistem perundang-undangan kepada image yang buruk dan menggoyahkan kewajiban negara.

5. Sistem Hukum Indonesia.
a. Pengertian sistem Hukum.
Berbicara mengenai Sistem Hukum, dalam suatu sistem terdapat ciri-ciri tertentu, yakni terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi. Dan kaitannya dengan hukum, maka Prof. Subekti,S.H. berpendapat bahwa: “sistem hukum adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”.
Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan fungsional. Kalau dikatakan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dati aturan-aturan hidup. Misalnya dalam hukum perdata sebagai sistem hukum Positif.
b. Ciri-ciri sistem Hukum Indonesia.
Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21)
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
c. Unsur-unsur dalam Sistem Hukum Indonesia.
1) Sistem Hukum Islam.
Sistem hukum ini mula-mula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebrangan agama Islam. Kemudian berkembang kenegara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara Individual atau kelompok.
Sistem Hukum Islam bersumber Hukum kepada:
1) Al-Quran, yaitu Kitab suci kaum muslim yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Rasul Allah Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril.
2) Sunnah Nabi, ialah cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadist) mengenai Nabi Muhammad.
3) Ijma, ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja (berorganisasi).
4) Qiyas, ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui metode Ilmu Hukum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari segi hukum lama dengan maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang ada didalamnya.
Agama Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban serta keselamatan umat manusia.
Berdasarkan sumber-sumber hukumnya, sistem hukum islam dalam “Hukuum Fikih” terdiri dari dua hukum pokok, yakni:
1) Hukum Rohaniah, lazim disebut “Ibadat”, yaitu cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian kepada Allah, seperti Shalat, Puasa, Zakat, Dan menjalankan Haji.
2) Hukum Duniawi, terdiri dari:
a) Muamalat, yakni tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antar manusia dalam bidang jual beli, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b) Nikah, yakni perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan Monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
c) Jinayat, yakni hukum pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
Sistem Hukum islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran Agama Islam dengan keimanan lahir secara individual.

2). Sistem Hukum Adat.
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, India, Jepang dan negara lain. Istilahnya berasal dari bahasa Belanda “adatrecht” yang untuk pertama kali oleh Snouck Hurgronje, Pengertian Hukum Adat yang digunakan oleh Mr. C. Van Vollenhoven (1928) mengandung makna bahwa Hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum Adat dan Adat yang tidak dapat dipisahkan dan hanya mungkin dibedakan dalam akibat-akibat Hukumnya. Kata “Hukum” dalam pengertian hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa, karena terdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhanya oleh berbagai golongan tertentu dalam ilmu lingkungan kehidupan sosialnya.

Sistem Hukum Adat bersumber kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan Hukum Adat itu mempunyai tipe yang bersifat Tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenekk moyang.utuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang.
Dari sumber hukum yang tidak tertulis itu, maka Hukum Adat dapat memperlihatkan kesanggupanya untuk menyesuaikan diri dan elastik. Misalnya, kalau seorang dari Minangkabau datang ke daerah Sunda dengan membawa ikatan-ikatan tradisinya, maka secara cepat ia menyesuaikan dengan daerah tradisi yang didatangi. Keadaan ini berbeda dengan hukum yang peraturan-peraturanya ditulis dan dikondifikasikan dalam sebuah kitab Undang-undang atau peraturan perundangan lainnya yang sulit dapat diubah secara cepat untuk penyesuaian dalam situasi sosial tertentu.
Berdasarkan sumber hukum dan tipe Hukum Adat itu, maka dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia.

Sistem Hukum Adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Hukum Adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat), mengatur tentang susunan dari ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemeneschappen) serta dalam susunan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan pejabatnya.

2) Hukum Adat mengenai Warga (hukum warga) terdiri dari:
a) Hukum Pertalian Sanak (perkawinan, waris).
b) Hukum Tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah).
c) Hukum Perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang
benda selain tanah dan jasa).

3) Hukum Adat mengenai detik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu.
Hukum Adat yang merupakan pencerminan kehidupan masyarakat indonesia, sedangkan masyarakat itu sendiri selalu berkembang, dengan tipeyang mudah berubah dan elastik, maka sejak penjajahan Belanda banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari polotik hukum yang ditanamkan oleh pemerintah penjajah itu.

3). Sistem Hukum Barat.
Hukum Barat mengacu pada tradisi hukum dari budaya Barat . Western culture has an idea of the importance of law which has its roots in both Roman law and the Bible . Budaya Barat memiliki gagasan tentang pentingnya hukum yang berakar baik dalam hukum Romawi dan Alkitab . As Western culture has a Graeco-Roman Classical and Renaissance cultural influence, so does its legal systems. Sebagai budaya Barat memiliki Graeco-Romawi Klasik dan Renaissance pengaruh budaya, begitu pula sistem hukum.
Barat budaya hukum adalah bersatu dalam ketergantungan sistematis konstruksi hukum. Such constructs include corporations , contracts , estates , rights and powers to name a few. Konstruksi tersebut termasuk perusahaan , kontrak , perkebunan , hak dan kekuasaan untuk beberapa nama. These concepts are not only nonexistent in primitive or traditional legal systems but they can also be predominately incapable of expression in those language systems which form the basis of such legal cultures. Konsep-konsep ini tidak hanya tidak ada dalam sistem hukum primitif atau tradisional tetapi mereka juga dapat didominasi mampu berekspresi di sistem-sistem bahasa yang membentuk dasar dari budaya hukum tersebut.
As a general proposition, the concept of legal culture depends on language and symbols and any attempt to analyse non western legal systems in terms of categories of modern western law can result in distortion attributable to differences in language. So while legal constructs are unique to classical Roman, modern civil and common law cultures, legal concepts or primitive and archaic law get their meaning from sensed experience based on facts as opposed to theory or abstract. Sebagai proposisi umum, konsep budaya hukum tergantung pada bahasa dan simbol-simbol dan setiap usaha untuk menganalisis sistem non-hukum Barat dalam hal kategori hukum Barat modern dapat mengakibatkan distorsi disebabkan perbedaan bahasa. Jadi, sementara konstruksi hukum unik untuk klasik Romawi, modern, budaya hukum sipil dan umum, konsep hukum atau hukum primitif dan kuno mereka mendapatkan arti dari pengalaman merasakan didasarkan pada fakta sebagai lawan teori atau abstrak. Legal culture therefore in the former group is influenced by academics, learned members of the profession and historically, philosophers. Budaya hukum karena itu dalam kelompok mantan dipengaruhi oleh akademisi, belajar anggota profesi dan historis, filsuf. The latter group's culture is harnessed by beliefs, values and religion at a foundational level. Budaya kelompok terakhir ini dimanfaatkan oleh keyakinan, nilai dan agama pada tingkat dasar.

4). Sistem Hukum Nasional.
Sistem hukum Indonesia adalah kompleks karena merupakan pertemuan tiga sistem yang berbeda. Prior to the first appearance of Dutch traders and colonists in the late 16th century and early 17th century, indigenous kingdoms prevailed and applied a system of adat (customary) law. Sebelum penampilan pertama dari pedagang Belanda dan koloni di akhir abad ke-16 dan abad 17 awal, kerajaan pribumi menang dan menerapkan sistem adat (adat) hukum. Dutch presence and subsequent colonisation during the next 350 years until the end of World War II left a legacy of Dutch colonial law. Kehadiran Belanda dan penjajahan berikutnya selama 350 tahun berikutnya hingga akhir Perang Dunia II meninggalkan warisan hukum kolonial Belanda. A number of such colonial legislation continue to apply today. Sejumlah undang-undang kolonial seperti ini terus berlaku hari ini. Subsequently, after Indonesian declared independence on 17 August 1945, the Indonesian authorities began creating a national legal system based on Indonesian precepts of law and justice. Selanjutnya, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mulai menciptakan sistem hukum nasional Berdasarkan indonesian ajaran hukum dan keadilan.
These three strands of adat law, Dutch colonial law and national law co-exist in modern Indonesia. Ketiga helai hukum adat, hukum kolonial Belanda dan hukum nasional hidup berdampingan di Indonesia modern. For example, commercial law is grounded upon the Commercial Code 1847 (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang or Wetboek van Koophandel), a relic of the colonial period. Sebagai contoh, hukum komersial didasarkan pada Kode Komersial 1847 (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel), sebuah peninggalan masa kolonial. However, commercial law is also supplemented by a large number of new laws enacted since independence. Namun, hukum komersial juga dilengkapi dengan sejumlah besar undang-undang baru diberlakukan sejak kemerdekaan. They include the Banking Law 1992 (amended in 1998), Company Law 1995, Capital Market Law 1995, Antimonopoly Law 1999 and the Oil & Natural Gas Law 2001. Mereka termasuk UU Perbankan 1992 (diamandemen pada 1998), Hukum Perusahaan 1995, Undang-undang Pasar Modal 1995, UU Antimonopoli 1999 dan Hukum Gas Alam Minyak & 2001. Adat law is less conspicuous. Hukum adat yang kurang mencolok. However, some adat principles such as “consensus through decision making” (musyawarah untuk mufakat) appear in modern Indonesian legislation. Namun, beberapa prinsip-prinsip adat seperti "konsensus melalui pengambilan keputusan" (musyawarah mufakat UNTUK) muncul dalam undang-undang Indonesia modern.

6. Politik Hukum Nasional Indonesia.
a) Sendi-sendi Hukum Nasional.
b) Sistem Peradilan di Indonesia dan Penegakkanya.
c) Kebijakan dan Program Pembangunan Hukum Nasional menyangkut
(materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana).

7. Bidang-bidang/lapangan hukum dalam tata hukum Indonesia
a) Hukum Pidana.
dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak,kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakkan untuk mempertahankan status diri.
Hukum Pidana ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam menindakan pelanggaran kepentingan umum.
Secara Konkrit tujuan hukum pidana ada dua, ialah:
1) Untuk menakut-nakuti semua orang agar jangan sampai nelakukan perbuatan yang tidak baik.
2) Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala sosial yang kurang sehat disamping pengobatan bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. Tujuan hukum pidana itu juga memberi sistemdalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu: asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem.
Ilmu-ilmu pembantunya dalam hukum pidana antaranya:
1) Antropologi
2) Filsafat
3) Etihca
4) Statistik
5) Medicina forensic (ilmu kedokteran bagian kehakiman)
6) Psychiatrie - kehakiman
7) Kriminologi
Peristiwa Pidana, yang juga disebut tindakan pidana (delict), ialah suatu perbuatan atau suatu rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan Hukum pidana. Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:

1) Hukum Pidana Obyektif, (Jus Punale),
Yakni suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat hukum yang oleh hukumdilarang oleh dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif disini adalah tindakannya.
Hukum Pidana Obyektif yang dapat dibagi:
a) Hukum Pidana Material
b) Hukum Pidana Formal (hukum Acara Pidana)

Pengertian dari Hukum Pidana Material, ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.

Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Pengertian dari Hukum Pidana Formal, ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari hukum pidana material).

2) Hukum Pidana Subyektif (Jus Puniendi),
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).

3) Hukum Pidana Umum, ialah Hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapapun juga diseluruh indonesia) kecuali anggota ketentaraan.

4) Hukum Pidana Khusus, ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu.
Contoh:
a) Hukum Pidana Militer, berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dalam militer.
b) Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseorangan dan meraka yang membayar pajak (wajib pajak).

Maka jika ada sesuatu yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana, syarat yang harus dipenuhi sebagai peristiwa pidana ialah:
1) Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatantertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat sepertiyang terjadi danterhadapnya wajib mempertanggungjawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu.
3) Harus terbukti adana kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4) Harus berlawanan dengan hukum.
5) Harus tersedia ancaman hukumnya.

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Kita telah mengetahui bahwa sifat hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya, diturutinya peraturan-peraturan hukum. Tapi dalam hukum Pidana paksaan itu disertai sesuatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman itu bermacam-macam jenisnya.

Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana terdiri atas:
1.Pidana Mati.
2.Pidana Penjara:
3.Pidana seumur hidup.
4.Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun).
5.Pidana Kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1 tahun).
6.Pidana denda.
7.Pidana tutupan.

2). Pidana Tambahan:
1) pencabutan hak-hak tertentu.
2) perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.
3) pengumuman keputusan hakim.

Hukuman-hukuman itu telah dipandang perlu, agar kepentingan umum dapat tetap terjaga dan terjamin keselamatannya.
1.Hukum Pokok

a. Hukuman Mati
Sejak hukum pidana berlaku dicantumkan sebagai Wetboek van strafrecht voor nederlandsch Indie diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pwmwrintah tidak menghendaki adanya ganguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti umum. Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam pasal 11 yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantung dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”. Ketentuan pasal ini mengalami perunahan yang ditentukan dalam S. 1945:123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa “Menyimpang dari apa yang tentang hal ini ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati yang dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh GubernurJenderal dilakukan secara menembak mati”. Maka hukuman mati dilaksanakan dengan “menembak mati” terhukum.

b. Hukuman penjara
Penjara adalah suatu tempat khusus dibuat dandigunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan hakim. Demikian diharapkan terhukum kelak kalau selesai menjalankan hukumanya akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Maka Pemerintah mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuklembaga disamping lamanya menjalani hukuman itu.

c. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman hukumannya pun ringan. Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa lamnya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan.

d. Hukuman denda
Ketentuan Hukuman Denda dicantumkan dalam pasal 30-33. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terpidana,maka akan dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.

2. Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahannya. Misalnya seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjaran dan dicabut hak pilihanya dalam pemilihan umum yang akan datang.
1) Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-undang Hukum Pidana Ialah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya.
Sistematika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terdiri atas 569 pasal secara sistematik dibagi dalam:
- Buku I:Memuat tentang ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leerstruken)Pasal 1–103,
- Buku II:mengatur tentang tindak Pidana Kejahatan (Misdrijven)pasal 104–488
- Buku III:mengatur tentang tindak pidana Pelanggaran (Overstredingen)Pasal 489 – 569.

Buku I sebagai Algemene leerstrukken mengatur mengenai pengertian dan asas-asas hukum pidana positif pada umumnya baik mengenai ketentuan-ketentuannya yang dicantumkan dalam buku II dan III maupun peraturan perundangan hukum pidana lainnya yang ada diluar KUHP.

2)Asas berlakunya Hukum Pidana.
Asas Nullum delictum ini memuat pengertian bahwa suatu perbuatan yang dilakukan tanpa Undang-undang yang sebelumnya telah mengatur tentang perbuatan itu tidak dipidanakan.
Asas Nullum delictum juga bertujuan melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan-tindakan sewenang-wenang dari peradilan Arbitrer pada zaman sebelum Revolusi Prancis (1789-1795).
Asas iitu mempunyai makna yang bertujuan melindungi individu (legalitas). Pasal 1 ayat 1 KUHP yang memiliki asas legalitas itu mengandung beberapa pokok pemikiran sebagai berikut:
1) Hukum Pidana hanya berlaku terhadap perbuatan setelah adanya peraturan.
2) Dengan adanya sanksi pidana, maka hukum Pidana bermanfaat bagi masyarakat yang bertujuan tidak akan ada tindakan pidana karena setiap orang harus mengetahui lebuh dahulu peraturan dan ancaman hukum pidananya.
3) Menganut adanya kesamaan kepentingan yaitu selain memuat ketentuan tentang perbuatan pidana juga mengatur ancaman hukumanya.
4) Kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan individu.
Asas legalitas ini memiliki rancangan luas yang artinya dalam mengembangkan hukum pidana dapat disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

3). Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana.
Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat, yakni:
1) Asas Teritorialitas (Teritorialiteits beginsel)
Ketentuan asas ini dicantumkan dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana”. Bagi orang asing sebagai penghuni Indonesia, jika melakukan tindak pidana terhadapnya akan dikenakan tindak pidana aturan Indonesia. Berlakunya tindak pidana di Indonesia diperluas dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap kapal yang berbendera Indonesia dan bergerak diluar wilayah teritorial, maka aturan pidana terus mengikutinya.
2) Asas Nasionalitas Aktif (actief nationalitetsbeginsel)
Aturan Nasionalitas Indonesia tujuanya untuk melindungi kepentingan umum (nasional). Asas kepentingan Nasional dalam aturan Hukum Pidana Indonesia disebut “Nasionalitas Aktif” atau Personalitas (personalitetsbeginsel). Terhadap asas personalitas ini ada pembatasan hukumannya yang dicantumkan dalam pasal 6 dan menyatakan bahwa “berlakunya pasal 5 ayat 1 sub 2 itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan pidana mati untuk peristiwa yang tidak diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negara tempat peristiwa itu dilakukan”.
3) Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationalitets beginsel)
Asas ini juga disebut “asas Perlindungan” (beschermingsbeginsel) bertujuan melindungi kepentingan terhadap tindakan baik warga negara sendiri maupun orang asing yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Indonesia yang dilakukannya untuk menjatuhkanwibawa dan martabat Indonesia. Pasal 8 menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi nakhoda dan pelayar bahtera Indonesia yang diluar wilayah, walaupun tidak berada diatas pelayaran, melakukan salah satu tindak pidana yang diterangkandalam Bab XXIX buku kedua dan Bab IX buku ketiga, demikian juga yang diterapkan dalam Peraturan umum tentang surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi kapal 1927.
4) Asas Universalitas (Universaliteits beginsel)
Asas Universalitas bertujuan untuk melindungi hubungan antarnegara tanpa melihat kewarganegaraan pelakunya. Yang diperhatikan adalah kepentingan negara lain sebagai tempat dilakukan suatu tindak pidana tertentu. Tercantum dalam pasal 4 sub 4 yang menyatakan bahwa “melakukan salah satu kejahatan yang ditentukan dalam pasal 438, 444-446 tentang pembajakan dan yang ditentukan dalam pasal 447 tentang menyerahkan suatu bahtera kapada kekuatan pembajak laut.

Perbandingan Sistem Hukum Pidana Anglo Saxon Dan Sistem Hukum Pidana Nasional

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PIDANA ANGLO SAXON DAN SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL

Oleh:Achmad Sodik Sudrajat, S.H., M.H.

1 A. Pendahuluan

Hukum mempunyai sistem pada asas-asas yang dikemukakan dan dikembangkan secara terperinci dengan perantara tulisan para ahli hukum, putusan pengadilan dan himpunan hukum dalam suatu undang-undang. Kegunaan hukum dalam kejadian konkrit tidak hanya bersandar kepada ketentuan hukum dalam undang-undang saja, karena undang-undang tidak hanya memuat kaidah terperinci untuk peristiwa apa yang akan terjadi, melainkan ia juga bersandar juga pada premise umum untuk dasar pemikiran tentang apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya menurut hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum.

Sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturan hukum, tetapi setiap peraturan itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya serta tidak boleh terjadi konflik. Sistem hukum di Indonesia seperti halnya dalam sistem hukum positif lainnya terdiri atas subsistem pidana, subsistem hukum perdata, subsistem hukum administrasi negara. Dengan demikian, subsistem hukum itu pada hakikatnya mencakup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Sistem hukum di dunia pada hakikatnya terdiri dari dua kelompok, yaitu sistem hukum eropa continental dan sistem hukum anglo saxon dimana dari kedua sistem hukum tersebut memiliki ciri dan karakteristiknya masing-masing termasuk dalam subsistem hukum pidananya. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis akan melakukan perbandingan antara karakteristik sistem hukum pidana anglo saxon dengan sistem hukum pidana nasional.

B. Karakteristik Sistem Hukum Anglo Saxon

Sebelum menguraikan tentang bentuk perbandingan dan karakteristik sistem anglo saxon (coman law) terlebih dulu perlu diketahui bahwa sejarah pembentukan hukum di negara-negara eropa sama-sama menghendaki adanya satu hukum nasional atau unifikasi.

Berikut ini akan diuraikan bentuk dan karakteristik dari sistem hukum anglo saxon hukum pidana atau sering dikenal dengan sistem hukum coman law adalah sebagai berikut

1. Sistem hukum anglo saxon pada hakikatnya bersumber pada :

a. Custom
Merupakan sumber hukum tertua, oleh karena ia lahir dari dan berasal dari sebagian hukum Romawi, custom ini tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku anglo saxon yang hidup pada abad pertengahan. Pada abad ke 14 custom law akan melahirkan common law dan kemudian digantikan dengan precedent

b. Legislation
Berarti undang-undang yang dibentuk melalui parlemen. undang-undang yang demikian tersebut disebut dengan statutes. Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah merupakan salah satu sumber hukum di Inggris, klarena pada waktu itu undang-undang dikeluarkan oleh raja dan Grand Council (terdiri dari kaum bangsawan terkemuka dan penguasa kota, dan pada sekitar abad ke 14 dilakukan perombakan yang kemudian dikenal dengan parlemen.

c. Case-Law
Sebagai salah satu sumber hukum, khsusnya dinegara Inggris merupakan ciri karakteristik yang paling utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui parlemen, akan tetapi dilakukan oleh hakim, sehingga dikenal dengan judge made law, setiap putusan hakim merupakan precedent bagi hakim yang akan datang sehingga lahirlah doktrin precedent sampai sekarang


2. Sebagai konsekuensi dipergunakannya sistem case law dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama dari sistem hukum anglo saxon (Inggris) maka tidak sepenuhnya menganut sistem asas legalitas, dan hal tersebut dapat dilihat pada bukti sebagai berikut :

a. Adanya legislation sebagai sumber hukum disampaing custom law dan case law

b. Jika suatu perkara terjadi pertentangan antara case law dan statue law, maka pertama-tama akan dipergunakan case law, sedangkan statute law akan dikesampingkan.

3. Bertitik tolak dari doktrin precedent dimaksud maka kekuasaan hakim di sistem anglo saxon (comman law) sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan salah satu negara yang mengaut sistem ini yaitu Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian haki dapat menjatuhkan putusan sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari kekuasaan hakim pada sistem ini sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum comman law (anglo saxon) kurang memperhatikan kepastian hukum.

4. Ajaran kesalahan dalam sistem hukum comman law dikenal dengan Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim “Actus non est reus mens rea” yang berarti suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali jika pikiran orang itu jahat

5. Dalam sistem hukum anglo saxon atau comman law pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya “berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan sikap bathin yang jahat. Namun demikian unsur sikap bathin yang jahat tersebut merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dahulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan. Dalam perkembangan selanjutnya unsur sikap bathin yang jahat tersebut tidak lagi dianggap sebagai syarat yang utama, misalnya pada delik-delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan umum.

6. Sistem hukum yang menganut sistem anglo saxon atau comman law tidak mengenal adanya perbedaan kejahatan dan pelanggaran, sebagaimana halnya di negara-negara yang menganut civil law atau eropa continental. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sebagai hukum positif di negara Indonesia mengenal adanya perbedaan di atas.

7. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara comman law atau anglo saxon pada prinsipnya menganut sistem Acusatoir


C. Karakteristik Sistem Hukum Pidana Nasional

Seperti yang telah diketahui sistem hukum yang dianut di negara Indonesia adalah sistem hukum eropa continental, sehingga ketentuan yang dianutnya pasti menganut kodifikasi, termasuk dalam ketentuan hukum pidananya.

Kodifikasi dan unifikasi hukum pidana di Indonesia dimulai pada tahun 1915, yang setelah merdeka masih tetap untuk diberlakukan melalui ketentuan Peraturan Peraihan UUD untuk terjadinya kekosongan hukum. Selain itu juga KUH Pidana di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum lain, yang salah satunya adalah sistem hukum adat, sehingga ada beberpa ketentuan hukum pidana yang masih harus memperhatikan ketentuan hukum adat.

Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang di dasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan perkataan lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai sebuah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkau nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia[1].

Perlu dijelaskan di sini bahwa pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Sebagaimana diketahui bangsa Indonesia setelah merdeka belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisi sendiri tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kendati memang, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisme, seperti penggantian nama Kitab Undang-Undag Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi Wetboek van Straafrecht, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dari Burgelijk Wetboek dan lain-lain. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religius turut pula diganti dan ditambahkan yang baru[2].

Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis dan harmonis. Pada hakikatnya dengan mengenal, menghubungkan dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu, berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana.

Asas-asas hukum pidana itu dapat digolongkan menjadi:

1. Asas yang dirumuskan di dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya

2. Asas yang tidak dirumuskan dalam dan menjadi asas hukum pidana yang tidak tertulis dan dianut di dalam yuriprudensi

Asas hukum pidana yang dirumuskan dalam perundang-undangan hukum pidana dibedakan menjadi tiga golongan:

1.  Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, yang mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara itu berlaku;

2. Asas berlakunya hukum pidana menurut waktu, yang mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana;

3. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang sebagai pembuat atau peserta, yang mempunyai arti penting untuk terjadinya perbuatan pidana dan penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu negara maupun yang berada di luar wilayah negara

Pembagian tiga asas tersebut menurut tempat (grondgebeid atau ruimtegebeid), menurut waktu (tijdsgebeid) dan menurut orang (personengebeid) yang lazim diikuti berdasarkan atas ajaran pembagian wilayah berlakunya suatu peraturan hukum. Akan tetapi, lebih baik pembagian tersebut cukup hanya menjadi dua asas saja, yaitu asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dan waktu saja. Hal ini disebabkan untuk lebih mudah mengahadapi masalah lain di bidang hukum pidana yang sering dicampuradukan yaitu tentang ajaran mengenai tempat dan waktu terjadinya delik atau perbuatan pidana. Di dalam literatur Belanda dikenal dasar hukum pidana “werking van de strafwet naar de plaats en tijd” atau toepasselijkkheid van strafwet” yang perlu untuk dipisahkan dengan “plaats en tijd van het strafbaar feit”. Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak tertulis dalam hukum pidana, yaitu asas “geen straf zonder schuld”, yang dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “Nullum Delectum Nulla Poena Sine Prae Vilege”, yang artinya tiada pidana tampa suatu kesalahan.

Ungkapan nullum delictum nulla poena sine prae vilege berasal dari von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana dari Jerman, dialah yang merumuskan dalam pepatah latin yaitu dalam bukunya “Lehrbuch des Peinlinchen dengan teorinya yang terkenal “Von Psycologi Schen Zwang”, yaitu menganjurkan bahwa dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan hanya macam pidana yang diancamkan. Dengan cara ini, orang yang akan melakkan perbuatan yang dilarang tadi telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika ia nanti melakukan perbuatan itu. Dengan demikian, dalam bathinnya, ia mengadakan rem atau tekanan untuk tidak melakukannya. Seandainya dia melakukan perbuatan tadi, hal dijatuhinya pidana kepadanya itu dapat dipandang sebagai hal yang sudah disetujuinya.

Nullum dilectum nulla peona sine prae via lege atau geen straf zonder schuld dalam bahasa latinnya diartika sebagai tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu atau tiada pidana tanpa kesalahan atau dikenal dengan nama asas legalitas, dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Bila kita pahami, asas legalitas tersebut mengandung tiga pengertian, yaitu :

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu undang-undang;

2.  Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Dari ketentuan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peristiwa pidana yang bersangkutan harus ditentukan serta dicantumkan dalam undang-undang. Akibat asas nullum dilectum itu, seseorang dapat dihukum apabila ia melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum dan peraturan telah disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi ada kemungkinan seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnnya merupakan kejahatan, tetapi karena tidak disebutkan oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, ia menjadi tidak terhukum.

Selain itu juga dalam sistem hukum pidana nasional, khsusnya mengenai kedudukan hakim diberikan pula kebebasan untuk melakukan penciptaan hukum atau dengan kata lain hasil penciptaan hukum tersebut sering dikenal dengan yuriprudensi.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat membuat suatu kesimpulan sebagai berikut :

1.  Pada hakikatnya antara sistem hukum cammon law (anglo saxon) dengan sistem hukum pidana nasional memiliki kemiripan,terutama dalam masalah sistem kodifikasi dan unifikasi

2. Pada sistem hukum pidana nasional dipengaruhi oleh sistem dari luar terutama oleh sistem hukum adat


Sumber :

[1] Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997, hlm 87

[2] Proses ini disebut Jaspan sebagai penggantian atau penambahan peraturan hukum ad hoc satu persatu pada hukum kolonial . M.A Jaspan, Mencari Hukum Baru; Sinkretisme Hukum di Indonesia yang Membingungkan, dalam Mulayana W Kusumah dan Paul S Baut, Hukum Politik dan Perubahan Sosial, YLBHI, Jakarta, 1988, hlm 250

http://www.stialanbandung.ac.id/cgi-sys/suspendedpage.cgi?option=com_content&view=article&id=451:perbandingan-sistem-hukum-pidana-anglo-saxon-dan-sistem-hukum-pidana-nasional-bagian-pertama&catid=12:artikel&Itemid=85

POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
ABSTRACT

ByDelfina Gusman SH,MH[1]
Political law is the national policy made by an officer or agency or a state institution or government to establish laws that good. Formation law in the political concept of law not only has a single configuration, but more. There are political configuration, there are socio-cultural configurations, there are socio-economic configuration, there are legal configuration.



PENDAHULUAN

Secara teoretikal, fungsi pembentukan hukum pada dasarnya merupakan fungsi melaksanakan perintah undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Pembentukan hukum oleh hakim dalam rangka memutuskan perkara yang sedang diperiksanya, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan baik oleh badan eksekutif secara tersendiri maupun bersama-sama dengan badan legislatif, tidak lain sebenarnya fungsi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang.

Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.

Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk mengkaji hubungan negara hukum dan pembentukan hukum, politik hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan nasional.

PEMBAHASAN

A. Negara Hukum dan Pembentukan Hukum

Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bagian dari kegiatan pembentukan hukum. Menurut sifat hukum yang dibentuk, pembentukan hukum itu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

(1) pembentukan hukum yang tertulis, berupa traktat, yurisprudensi, dan peraturan perundang-undangan; dan

(2) pembentukan hukum yang tidak tertulis, berupa, hukum adat dan hukum kebiasaan.

Dengan demikian, maka pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari pembentukan hukum yang tertulis. Dikatakan demikian, karena pembentukan hukum yang tertulis itu tidak hanya berupa pembentukan peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi juga mencakup pembentukan traktat dan yurisprudensi.

Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi yang dapat dimiliki oleh setiap badan atau pejabat negara/pemerintahan. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

(1) fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan); dan

(2) fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan) dan keluar (masyarakat/komunitas sasaran di luar pembentuk peraturan perundang-undangan).

C. Politik hukum peraturan perundang-undangan nasional

Pembentukan peraturan perundang-undangan secara ideal dilandasi paling tidak oleh 3 (tiga) hal, yaitu:

(1) Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;

(2) Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional yang baik; dan

(3) Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum dan sebagainya. Konfigurasi-konfigurasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini secara teoretikal akan menghasilkan 3 (tiga) klasifikasi dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu :[2]

(1) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan represif (law or legislation as the servant of repressive power);

(2) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (law or legislation as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity);

(3) hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or legislation as a facilitator or response to social needs an aspirations).

Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional merupakan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan/lembaga negara atau pemerintahan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Politik hukum nasional dalam arti ini secara konstitusional dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 1 UUD 1945 memberikan landasan bagi konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional di Indonesia yang hendak diimplementasikan.

Pasal 1 UUD 1945 itu dirumuskan sebagai berikut :

(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.

(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD 1945 itu, maka konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional kita paling tidak dilandasi oleh 3 (tiga) prinsip yang fundamental sebagai berikut:

(1) Prinsip negara hukum (welfare state);

(2) Prinsip negara kesatuan (unitary state) dengan bentuk pemerintah republik; dan

(3) Prinsip demokrasi (democracy).

Prinsip negara hukum yang dianut dalam konsep politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional kita adalah prinsip welfare state. Prinsip ini dapat ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat.

‘Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu …’



Prinsip welfare state dalam Pembukaan UUD 1945 itu mengisyaratkan agar dalam pembentukan politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan untuk:

(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

(2) memajukan kesejahteraan umum;

(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Prinsip negara kesatuan (unitary state) mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara kesatuan, dengan bentuk pemerintahannya republik. Ini artinya, bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk harus dalam rangka mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kita menurut UUD 1945 adalah negara kesatuan (bukan federal), sedangkan bentuk pemerintahan negara kita adalah republik (bukan monarchi). Maka pembentukan dan materi peraturan perundang-undangan baik di Pusat maupun Daerah tidak boleh lepas dari kedua hal tersebut.

Selanjutnya prinsip demokrasi (democracy) mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik perundang-undangan nasional, senantiasa melibatkan peran serta rakyat. Rakyat harus diberikan ruang secara demokratis untuk terlibat pada setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai pada tahap rancangan hingga pasca pengundangan. Pelibatan rakyat dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan tidak saja mencerminkan prinsip demokrasi telah dianut dalam konsep politik hukum nasional itu, akan tetapi juga memberikan indikasi terbentuknya penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dan responsif (partisipatif), serta mengarahkan bagi terbentuknya produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang demokratik.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan lingkup atau lingkungan kuasa hukum, yang menurut Logemann dapat dibedakan menjadi 4 (empat) hal, yaitu:

a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebeid atau territorial sphere).

Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) di batasi oleh ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, ’daerah kekuasaan” berlakunya suatu undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu Perda hanya berlaku untuk suatu wilayah daerah tertentu.

b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebeid atau material sphere).

Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana, dan sebagainya. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang diatur.

c. Lingkungan kuasa orang (personengebied)

Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subjek atau orang tertentu dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka hal itu memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-Undang tentang Pegawai Negeri, Undang-Undang tentang Tenaga Kerja, Undang-Undang tentang Peradilan Militer, dan sebagainya, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompok orang yang diidentifikasi dalam peraturan perundang-undangan itu.

d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)

Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu, apakah mulai berlaku sejak ditetapkan berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.

D. Konflik Hukum UU Nomor 10 Tahun 2004

Peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan pengertian ini, maka yang disebut dengan peraturan perundang-undangan bentuknya pasti tertulis. Ia dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat secara umum. Jadi berdasarkan rumusan ketentuan ini, pembentuk peraturan perundang-undangan itu ada 2 (dua), yaitu : (1) lembaga negara; dan (2) pejabat yang berwenang.

Jika pengertian ’pejabat yang berwenang’ dapat diartikan sebagai pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki kewenangan yang sah untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan, maka pertanyaan hukumnya kemudian adalah siapa yang dimaksud dengan lembaga negara itu?

Sebelum UUD 1945 diamandemen, lembaga-lembaga negara kita menurut Sri Soemantri M., terdiri dari : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden (dan Wakil Presiden), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).[3]

Setelah adanya perubahan (amandemen), UUD 1945 kita menurut Jimly Asshiddiqie mengenal beberapa lembaga negara, yaitu : MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).[4]

Dengan demikian, apabila kita menggunakan pendapat Jimly Asshiddiqie untuk menjawab pertanyaan : siapakah yang dimaksud dengan lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan itu, maka jawabannya adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah bahwa hanya lembaga negara saja yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia? Jawabannya jelas tidak. Di luar lembaga negara, seperti lembaga pemerintahan daerah juga memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang lazim kita kenal dengan Peraturan Daerah (Perda). Di tingkat Desa, ternyata juga ada lembaga pemerintahan desa yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan, yang lazim disebut dengan Peraturan Desa.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa rumusan pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 itu kurang tepat. Pengertian peraturan perundang-undangan itu seharusnya juga mencakup lembaga pemerintahan, baik pusat maupun daerah, di samping lembaga negara sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia.

D. UU Nomor 10 Tahun 2004 ”Versus” UU 32 Tahun 2004

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (tentang Pemerintah Daerah) disebutkan, bahwa Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/ kota dan tugas pembantuan.[5] Selanjutnya, Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menyatakan, bahwa :



(1) Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.

(2) Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (cetak tebal dari penulis).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka putusan atau peraturan-peraturan di tingkat daerah berdasarkan pejabat atau badan penyelenggara pemerintahannya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

(1) Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Provinsi;

(2) Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Kabupaten/Kota; dan

(3) Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan desa.

Peraturan-peraturan atau putusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Provinsi dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

(1) Peraturan Daerah Provinsi, yang dibentuk oleh DPRD bersama dengan Gubernur;

(2) Peraturan Gubernur, yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah; dan

(3) Keputusan Gubernur yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah.

Peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah Kabupaten/Kota meliputi:

(1) Peraturan Daerah Kabupaten yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama dengan Bupati;

(2) Peraturan Daerah Kota yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama dengan Walikota;

(3) Peraturan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah;

(4) Keputusan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah

(5) Peraturan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota; dan

(6) Keputusan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota.

Selanjutnya, peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan desa meliputi:

(1) Peraturan Desa yang dibentuk oleh Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa, atau nama lain;

(2) Peraturan Kepala Desa yang dibentuk oleh Kepala Desa; dan

(3) Keputusan Kepala Desa.

Tidak ada penjelasan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetang apa yang dimaksud dengan Keputusan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota). Apakah keputusan ini merupakan bentuk peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking)?

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapatlah dikemukakan, bahwa ternyata peraturan-peraturan di tingkat daerah dapat berupa Perda, dan dapat berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, dan sebagainya. Pertanyaan hukumnya adalah, dimanakah letak atau kedudukan masing-masing peraturan itu dalam sistem hierarkhi menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ? Mengenai hal ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ternyata belum mengatur dengan memadai.

PENUTUP

Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari pembentukan hukum yang tertulis. Dikatakan demikian, karena pembentukan hukum yang tertulis itu tidak hanya berupa pembentukan peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi juga mencakup pembentukan traktat dan yurisprudensi.

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA



Dahlan Thaib, 1993, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta, Liberty

Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia

Hasan Zaini, 1974, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung

Joeniarto, 1966, Sejarah Ketatanegaraan RI, Yogyakarta, Gajah Mada

Miriam Budiardjo, 1992, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia

Pustaka

Moh. Mahfud MD, 1993, Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta, LP3 ES

Padmo Wahyono, 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta, Ghalia Indonesia

Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni Bandung

----------------, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan



Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas

[2] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 14.

[3] Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca Perubahan UUD 1945, makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni 2004, hlm. 6.

[4] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 12.

[5] Lihat Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Sumber : http://fhuk.unand.ac.id/artikel/27/politik-hukum-dan-modifikasi-hukum-dalam-pembentukan-peraturan-perundang-undangan-nasional.html